Pembajakan Software

Assalamualaikum Wr. Wb.

mengapa saya ingin membahas masalah ini, karena saya baru aja jadi mahasiswa di UPI, di jurusan Pendidikan Ilmu Komputer. terlebih lahi ada beberapa kendala saat jadi panitia tentang Pembajakan Software kenapa ?, karena kejujuran dan kepolosan saya yang ingin mengetahui apakah etis jika kita membajak software.
Maka saya pun sadar bahwa selama ini saya sudah bersalah dan saya mungkin belum bertobat hahaha. Berbagai refleksi telah saya lakukan dengan menghitung budget kemahasiswaan saya selama ini dalam membeli software, dan mungkin inilah alasan beberapa mahasiswa mengambil jalan yang tidak benar ini.
Perhitungan ini merupakan alasan pembenaran saya selama ini:

Monitor + CPU		: Rp 1.500.000
Windows XP		:       1.000.000
MS Office 2010	:       2.799.900
Adobe Acrobat Pro	:       7.990.000
Winzip			:          129.000
MYOB			:       5.500.000
   	Total		      18.918.900
 
Begitu mahalnya biaya untuk membeli seperangkat komputer beserta software yang mendukung kami selama perkuliahan. Mungkin inilah yang kami sebut “the power of kepepet” mahasiswa dan perusahaan Indonesia dan umumnya negara-negara berkembang lainnya. Maka kami persembahkan hasil tulisan kami, semoga para pembaca segera bertobat, hahaha
LATAR BELAKANG MASALAH

Saat ini  teknologi berkembang dengan sangat pesat dan dapat dirasakan dari waktu ke waktu. Teknologi yang berkembang ini dapat memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya. Komunikasi dari satu tempat ke tempat lain pun menjadi lebih mudah dengan adanya perkembangan teknologi ini. Informasi yang didapat oleh seseorang pun akan lebih mudah dan sangat beragam. Bahkan teknologi dapat dikatakan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia saat ini. Tanpa adanya teknologi, manusia tidak akan berkembang sampai sejauh ini.
Salah satu contoh perkembangan teknologi saat ini adalah software komputer yang dapat menunjang kecanggihan yang dimiliki oleh alat elektronik tersebut. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian dengan cara mengembangkan atau menciptakan software-software baru. Disinilah letak permasalahan terjadi. Banyak pengguna komputer melakukan pembajakn terhadap software-software tesebut. Pembajakan ini tidak hanya dilakukan oleh individu-individu saja, tetapi juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang dikatakan cukup besar. Pembajakan ini dilakukan dengan maksud untuk tidak mengeluarkan biaya sedikitpun untuk mendapatkan software tersebut untuk menikmati keuntungan dari kecanggihan software tersebut tanpa membayarnya. Beredarnya software bajakan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Menurut laporan Software and Information Industry Association (SIIA, 2000 dalam Wahid, 2004), kerugian yang diakibatkan pembajakan software selama lima tahun (1994-1999) mencapai hampir 60 triliun dollar. Kerugian akibat pembajakan terbesar terjadi di Amerika dan Kanada, yaitu mencapai 3.6 milyar dollar atau sekitar 26% dari total kerugian di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, menurut data Business Software Alliances (BSA), pada tahun 2002 sebanyak 90% software yang digunakan merupakan software ilegal. Statistik ini meningkat dibandingkan pada tahun 2001, yang mencapai angka 88% (Hidayat, 2003 dalam Wahid, 2004). Statistik ini sekaligus menempatkan Indonesia pada daftar negara yang harus diawasi dalam hal pembajakan software. Namun perlu dicatat di sini, meskipun dari sisi persentase tingkat pembajakan di Indonesia besar, misal pada tahun 1999 sebesar 85%, namun dari sisi besar kerugian ‘hanya’ sebesar 42.106 dollar. Angka ini jika dibandingkan dengan kerugian pada tahun yang sama di Amerika dan Kanada yang sebesar 3.631.212 dollar, ‘hanya’ sebesar 1,1% (SIIA, 2000 dalam Wahid, 2004).
Parahnya lagi, seperti yang dikutip dari Kompas.com, tingkat pembajakan software di Indonesia sepanjang tahun 2010 bukannya turun malah naik 1% dibanding tahun sebelumnya. Indonesia pun kini menduduki peringkat ke-11 di dunia dalam hal pembajakan software. Hasil tersebut diperoleh dari “Studi Pembajakan Software Global 2010″ oleh Business Software Alliance (BSA) yang mengevaluasi status pembajakan software secara global. Tahun 2010, tingkat pembajakan software di Indonesia 87% yang berarti 87% program yang diinstal pada komputer di Indonesia adalah produk tanpa lisensi legal. Nilai potensi kerugian yang dialami produsen software pun menigkat dibanding tahun lalu bahkan mencapai rekor yakni 1,32 milliar dollar AS. Nilai kerugian tersebut tujuh kali lebih besar dari nilai kerugian pada 2003 yang mencapai 157 juta dollar AS. Pada 2009, dengan tingkat pembajakan software 86%, nilai kerugian mencapai 886 juta dollar AS. Studi Pembajakan Software Global 2010 mencakup pembajakan atas seluruh software yang berjalan pada PC, termasuk desktop, laptop dan ultra-portabel, termasuk netbook. Ini mencakup sistem operasi, sistem software seperti database dan paket keamanan, serta aplikasi software, dengan software gratis yang sah dan software open source yang tercakup dalam ruang lingkup penelitian.
Meskipun demikian, statistik ini tidaklah kemudian menjadi alasan pembenaran pembajakan software. Memberantas atau menurunkan tingkat pembajakan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan (Wahid, 2004). Banyak faktor yang menentukan tingkat pembajakan ini. Ekonomi sebuah bangsa adalah salah satu faktor utama yang menentukan tingkat pembajakan software (e.g. Gopal dan Sanders, 2000 dalam Wahid, 2004). Dalam penelitian yang mereka lakukan, ditemukan bahwa tingkat pembajakan software berhubungan secara signifikan dengan pendapatan per kapita sebuah negara.
Dalam kaitan pemberantasan pembajakan software ini, pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-undang No. 19 tahun 2002 yang mengatur Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Sebenarnya UU ini tidak hanya mengatur soal hak penggunaan software, tetapi juga karya intelektual lain seperti karya tulis, musik, lukis dan film. Namun, sebagian besar orang mengasosiasikan UU ini dengan pengaturan penggunaan software, karena memang software dan informasi digital lainnya, seperti film yang disimpan dalam format digital memang sangat mudah dibajak.
Apakah tindakan ini dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang etis? Pembajakan software mungkin sudah merupakan hal yang lumrah selama ini. Ketidakinginan untuk membayar software tersebut telah menciptakan banyaknya praktek pembajakan. Semakin lama masyarakat menganggap pembajakan sebagai suatu hal yang lumrah. Namun apabila pembajakan tersebut dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, apakah masih dapat dikatakan sebagai suatu hal yang lumrah? Apakah pembajakan tersebut telah melanggar norma-norma di dalam etika? Penggunaan komputer oleh masyarakat inilah yang memunculkan dilema etika. Di satu sisi, teknologi tersebut sebaiknya dimanfaatkan sebaik mungkin, tetapi pada saat yang sama, sebagian besar pengguna komputer di Indonesia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan software ilegal. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar software yang ditemukan pada komputer di Indonesia adalah software bajakan. Pembahasan mengenai hal tersebut akan dilakukan dalam makalah ini. Makalah ini akan mengulas lebih dalam mengenai pelanggaran etika dalam pembajakan software.

PEMBAJAKAN SOFTWARE (SOFTWARE PIRACY) DARI PERSPEKTIF ETIKA BISNIS

Etika Bisnis

Etika diartikan sebagai filsafat moral yang berkaitan dengan studi tentang tindakan-tindakan baik ataupun buruk manusia di dalam mencapai kebahagiaannya. Apa yang dibicarakan di dalam etika adalah tindakan manusia, yaitu tentang kualitas baik (yang seyogyanya dilakukan) atau buruk (yang seyogyanya dihindari) atau nilai-nilai tindakan manusia untuk mencapai kebahagiaan serta tentang kearifannya dalam bertindak (Bourke, 1966 dalam Pramumijoyo dan Warmada, 2004 dalam Dewi & Gudono, 2007). Maka, secara umum etika dapat diartikan sebagai cabang ilmu filsafat yang membahas mengenai baik atau buruknya perilaku manusia.
Sedangkan, etika bisnis merupakan suatu pemikiran atau refleksi yang berkaitan dengan moralitas dalam dunia ekonomi maupun bisnis. Moralitas sendiri dapat diartikan sebagai suatu aspek yang digunakan untuk mengukur baik dan buruk, terpuji atau tercela, dan diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas dapat dikaitkan dengan apa yang dilakukan manusia dan kegiatan ekonomis merupakan suatu bidang perilaku yang dianggap penting.
Pada umumya etika terapan dapat  dikelompokan menjadi 3 taraf yaitu, makro, meso, dan mikro. Penerapan tersebut juga dapat dilakukan pada etika bisnis. Pada taraf makro, etika bisnis membahas mengenai aspek moral dari sistem ekonomi secara utuh. Pada taraf meso etika bisns mempelajari masalah yang berada di organisasi. Sedangkan pada taraf mikro, yang menjadi fokus adalah hubungan antara individu dalam hubungannya dengan ekonomi dan bisnis.
Etika bisnis adalah penerapan prinsip-prinsip etika umum pada suatu wilayah kegiatan ekonomi dan bisnis. Beberapa contoh mengenai teori yang paling penting dalam pemikiran moral, khususnya dalam etika bisnis (Bertens, 2000):

a.        Utilitarisme
Prinsip dasar dari teori ini adalah bahwa suatu perbuatan adalah baik, jika membawa manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar. Dalam Utilitarisme, jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik., yakni keadilan dan hak.

b.        Deontologi
Dalam teori ini, tujuan yang baik tidak menjadikan perbuatan itu baik. Teori deontologi menyatakan bahwa suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan karena harus dilakukan (kewajiban) dan karena dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris”. Imperatif kategoris mewajibkan kita begitu saja, tidak tergantung pada syarat apapun.

c.       Teori hak
Teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontology, karena hak berkaitan dengan kewajiban.

d.        Teori keutamaan
Teori keutamaan adalah teori yang memandang sikap atau akhlak seseorang. Teori ini tidak menyoroti perbuatan, tetapi memfokuskan pada seluruh manusia sebagai  pelaku moral yang memandang sikap atau akhlak seseorang. Dari teori lainnya, teori keutamaan mempunyai kelebihan yakni dapat mengembangkan penilaian etis yang lebih positif.

Pembajakan Software (Software Piracy)
Pembajakan software adalah setiap bentuk perbanyakan atau pemakaian software tanpa ijin atau di luar dari apa yang telah diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta dan perjanjian lisensi. Jenis-jenis pembajakan software yang ada:
  • End user piracy, pemakaian ilegal pengguna akhir (end user) dengan memakai program-program illegal.
  • Retail piracy & counterfeiting, persewan software dalam bentuk CD yang biasa disewakan dengan harga Rp 2.000 sampai 20.000.
  • Internet piracy, download dari rapidshare atau dari tempat illegal atau bukan dari website resmi programnya.
  • Harddisk loading, pembelian komputer rakitan yang telah diisikan dengan Windows dan berbagai program seperti Office dan AntiVirus.
Semua jenis pembajakan software diatas sama, tidak ada yang lebih baik dari yang lainnya semua adalah hal yang melanggar hukum. Tidak bisa disangkal bahwa hal ini didorong dengan tersedianya software bajakan di pasar yang membuat semakin maraknya pemakaian software bajakan di berbagai Negara termasuk Indonesia. Juga didukung oleh beberapa faktor  yang mendukung pembutan software bajakan yakni:
  1. Proses penggandaan software semakin mudah. Produsen software semakin canggih membuat produksi software anti membajakan, tetapi para pembajak juga semakin canggih mencari cara supaya software tadi bisa dibajak. Dengan adanya crack, keygen juga cara lainnya. Penggandaannya semakin mudah, dengan cara menaruh installer software ditambah crack atau keygen-nya di internet, lalu menyebarkan link-nya.
  2. Kurangnya kesadaran dan budaya masyarakat untuk menghargai hak cipta atas software.
  3. Sikap acuh terhadap konsekuensi hukum yang timbul akibat pembajakan software.
  4. Faktor penegakan hukum dan perangkat perundang-undangan di bidang hak cipta yang masih kurang memadai.
Kesadaran dari berbagai kalangan terhadap kerugian pemakaian software bajakan khususnya untuk perusahaan. Ada pemikiran bahwa jika tidak memakai software bajakan akan merugikan, jika memakai maka akan mengurangi biaya operasional perusahaan. Berikut ini kerugian yang bisa dirasakan jangka panjang dengan memakai software bajakan:
  1. Menghancurkan industri software lokal dan merugikan distributor software lokal yang tidak mampu bersaing secara sehat dengan distributor software bajakan. Mungkin  yang tidak bekecimpuk atau berbisnis industri IT tidak terlalu sadar tentang ini, tapi pembajakan software jelas-jelas merugikan industri software. Banyak perusahaan software dalam negeri sudah memproduksi software yang tidak kalah canggih dan punya harga yang jauh lebih murah dibanding produksi Microsoft, Adobe, Corel, dan lain sebagainya. Tapi karena pembajakan, masyarakat Indonesia lebih senang memakai software bajakan yang murah.
  2. Merugikan konsumen, dikarenakan jika memakai software bajakan bisa cenderung mudah rusak (error) dikarenakan cara menginsal yang salah. Dibandingkan dengan  memakai software yang asli yang tingkat kerusakan lebih rendah.
  3. Merugikan perusahaan pembuat software yang karyanya dibajak, mengurangi gairah investasi dan gairah untuk berinovasi dari produsen software.
  4. Secara keseluruhan, pembajakan merugikan ekonomi suatu negara dari sektor pajak, tenaga kerja, dan sebagainya. Dengan memakai software yang asli kita sudah membayar pajak dan dengan itu meningkatkan pendapatan Negara.
Maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan software bajakan akan merugikan berbagai pihak bukan saja perusahaan yang memproduksi software tersebut, pemakai, pemerintah juga akan merasakan kerugian.

Pembajakan Software dari Perspektif Hukum
Di dalam terminologi hukum di Indonesia, tidak mengenal istilah pembajakan software. Istilah ini merupakan terjemahan langsung dari software piracy. Dalam Kamus Microsoft Encarta, dikatakan bahwa piracy merupakan perbuatan menggunakan material yang dilindungi dengan copyright atau yang dikenal di Indonesia sebagai hak cipta, tanpa izin resmi. Bila dilihat ke dalam hukum nasional kita, masalah perlindungan software ini diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta No. 19/2002 (UU Hak Cipta). Pada Pasal 12 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sebuah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra adalah:
  1. Buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
  2. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
  3. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
  4. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
  5. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
  6. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan
  7. Arsitektur;
  8. Peta;
  9. Seni, batik;
  10. Fotografi;
  11. Sinematografi;
  12. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Jadi, untuk mengatakan apakah sebuah produk itu masuk ke dalam perlindungan hak cipta, maka kita perlu merujuk pada pasal di atas, apakah produk tersebut termasuk di dalamnya. Untuk mengetahui apa yang disebut pembajakan software tersebut maka, harus terlebih dahulu mengetahui apakah perlindungan yang diberikan terhadap sebuah ciptaan, dalam hal ini sebuah software (piranti lunak). Pasal 2 UU Hak Cipta memberikan batasan hak-hak apa saja yang tercakup dalam hak cipta. Dikatakan Hak Cipta merupakan hak eksklusif Pencipta (atau Pemegang Hak Cipta) untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Selain itu, Pencipta (atau Pemegang Hak Cipta) atas program komputer berhak untuk memberikan izin/melarang orang lain untuk menyewakan ciptaannya.
Permasalahannya yang timbul, apa saja yang dimaksudkan dengan mengumumkan atau memperbanyak sebuah ciptaan tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 2 UU Hak Cipta dikatakan bahwa pengertian “mengumumkan atau memperbanyak” juga mencakup kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujud-kan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.
Pembajakan software bisa mencakup beberapa kegiatan antara lain menjual software atau menyewakan software. Namun, tidak disebutkan bahwa menggunakan atau memakai software merupakan pelanggaran hak cipta juga disebut pembajakan software. Oleh sebab itu, tidak perlu khawatir bila menggunakan software bajakan. Akan tetapi, meng-copy atau menginstal software termasuk tindakan memperbanyak software. Bila dilakukan tanpa izin (tanpa lisensi dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta) maka juga dianggap pembajakan. Sebenarnya, masalah hak cipta awalnya merupakan permasalahan perdata, artinya hanya menyangkut kepentingan individu terhadap individu lainnya. Namun, lantaran UU Hak Cipta juga memasukkan unsur pidana, maka masalah pembajakan software ke hukum pidana. Pasal 72 ayat (1) memberikan ancaman kurungan pidana bagi mereka yang sengaja dan tanpa hak (melawan hukum) melakukan perbuatan tersebut, paling singkat 1 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1 juta, paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 milyar.

Pembajakan Software dari Perspektif Etika Bisnis
Seperti yang sudah diketahui, pembajakan software merupakan subyek perdebatan. Beberapa penulis mendukung pembajakan software karena manfaat software yang tersembunyi (hidden benefits) (Rahim, Rahman, dan Seyal, 2000 dalam Dewi & Gudono, 2007). Tingginya harga software legal dan kegagalan vendor software dalam melindungi software untuk dapat dicrack dengan mudah juga dijadikan alasan kelompok pendukung pembajakan software ini (Gopal dan Sanders, 2000; Hinduja, 2003 dalam Dewi & Gudono, 2007). Pendukung kelompok ini juga menyatakan bahwa menyalin software baik untuk perkembangan masyarakat, terutama memberikan akses kepada mereka yang tidak mampu secara ekonomi membeli software legal (Wong, Kong, dan Ngai, 1990 dalam Dewi & Gudono, 2007).
Sementara ini, kelompok yang tidak mendukung pembajakan software mempunyai alasan yang jelas. Dukungan dana untuk industri software untuk menghasilkan software yang berkualitas adalah alasan utama kelompok ini. Kelompok ini juga mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul karena maraknya pembajakan (Rahim et al., 2000 dalam Dewi & Gudono, 2007), seperti keenganaan produsen software untuk memproduksi kembali serta pembebanan biaya yang bahkan lebih tinggi untuk software legal sebagai kompensasi kehilangan akibat pembajakan software. Terlepas pada perdebatan yang terus berlanjut, masalah pembajakan software telah diteliti oleh banyak peneliti dengan pendekatan yang berbeda. Pendekatan pertama ditujukan untuk melihat perbedaan karakteristik demografis pembajak (e.g. Hinduja, 2003; Oz, 1990; Rahim et al., 2000; Simpson et al., 1994 dalam Dewi & Gudono, 2007), sedang pendekatan yang kedua mencari faktor-faktor yang menentukan atau menjelaskan mengapa orang membajak (e.g. Lin, Hsu, Kuo, dan Sun, 1999; Moores dan Dhillon, 2000; Simpson et al., 1994 dalam Dewi & Gudono, 2007).
Simpson, Banerjee dan Simpson (1994 dalam Dewi & Gudono, 2007) dalam penelitian mereka memodelkan bahwa proses pengambilan keputusan terkait pembajakan software dipengaruhi oleh lima faktor: (1) stimulus untuk bertindak (stimulus to act), (2) faktor sosial budaya (socio-cultural factor), (3) faktor legal (legal factor), (4) faktor personal (personal factor), dan (5) faktor situasi (situation factor).
Lin, Hsu, Kuo, dan Sun (1999 dalam Dewi & Gudono, 2007) yang menggunakan model berdasar Theory of Planned Behavior yang dikembangkan oleh Azjen (1985 dalam Dewi & Gudono, 2007) menemukan bahwa intensi untuk membajak software berhubungan secara signifikan dengan sikap terhadap pembajakan, norma subyektif terhadap pembajakan, dan computer deindividuation. Sikap didefinisikan sebagai tingkat evaluasi seseorang terhadap sebuah tindakan terkait dengan baik dan buruk, sedangkan norma subyektif terkait dengan pandangan sosial terhadap sebuah tindakan. Computer deindividuation didefinisikan oleh Lin, Hsu, Kuo, dan Sun (1999 dalam Dewi & Gudono, 2007) sebagai keadaan dimana anonimitas terjamin sehingga seseorang kehilangan tanggung jawab sosialnya.
Survei yang dilakukan oleh Wahid (2004) di tahun 2002 setidaknya dapat menjelaskan motif pembajakan software ini. Survei yang dilakukannya, menemukan bahwa sebagian besar (36%) responden menyatakan bahwa mereka membajak software beberapa kali dalam satu bulan dan 19% responden menyatakan tidak pernah membeli software bajakan. Meskipun dari sisi persentase tingkat pembajakan di Indonesia besar, misal pada tahun 2010 sebesar 87%, namun kerugian yang dialami oleh Indonesia lebih sedikit dibandingkan negara-negara yang lain, walaupun kejadian ini membuat Indonesia menduduki peringkat ke-11 di seluruh dunia versi BSA. Hal ini berarti, jika yang dikejar oleh pada produsen software adalah pengurangan kerugian secara signifikan, maka berjuang melawan pembajakan di negara-negara maju akan lebih menguntungkan. Survei juga menemukan bahwa faktor stimulus yang terkait dengan kebutuhan dan harga software legal yang terlalu merupakan motivasi utama para pembajak.
Pembajakan software, dalam konteks ini, dapat memudahkan negara yang terbelakang secara ekonomi untuk memanfaatkan teknologi informasi (Wong et al., 1990 dalam Dewi & Gudono, 2007). Dalam penelitian Gopal dan Sanders (2000 dalam Dewi & Gudono, 2007), mereka menemukan hubungan yang signifikan antara tingkat pembajakan dengan pendapatan per kapita sebuah negara. Hubungan ini sangat jelas terlihat pada negara-negara berkembang dengan pendapatan per kapita kurang dari 6000 dolar Amerika. Setiap peningkatan pendapatan sebanyak 1000 dolar, akan mengurangi tingkat pembajakan 6%. Namun untuk negara dengan pendapatan per kapita di atas 6000 dolar, kenaikan pendapatan 1000 dolar bahkan hanya mengurangi tingkat pembajakan sebesar 0.9%. Namun perlu dicatat di sini, untuk mengurangi pembajakan, tidak lantas menunggu peningkatan pendapatan per kapita. Produsen software, sesuai usulan Gopal dan Sanders (2000 dalam Dewi & Gudono, 2007) dapat menggunakan diskriminasi harga sebagai salah satu strategi untuk mengurangi tingkat pembajakan global. Penurunan harga software legal yang bisa dijangkau oleh banyak kalangan dapat juga dijadikan sarana edukasi publik dalam rangka peningkatan apresiasi terhadap hak atas kekayaan intelektual.
Kasus ini menunjukkan bahwa teknologi informasi membutuhkan pemahaman mengenai etika dalam penggunaannya agar tidak terjadi kejahatan-kejahatan yang membawa kerugian. Beberapa pihak yang peduli terhadap etika sistem informasi khususnya terkait dengan penggunaan teknologi informasi telah membuat berbagai pedoman mengenai etika penggunaan komputer, salah satunya yaitu pedoman yang dibuat oleh Indoglobal-supp@indoglobal.com (Dewi & Gudono, 2007) mengenai pedoman bagi pemakai dan nekinet yang diberi judul Sepuluh Perintah untuk Etika Komputer, yang isinya adalah:
  • Jangan menggunakan untuk membahayakan orang lain.
  • Jangan mencampuri pekerjaan komputer orang lain.
  • Jangan mengintip file orang lain.
  • Jangan menggunakan komputer untuk mencuri.
  • Jangan menggunakan komputer untuk bersaksi dusta.
  • Jangan menggunakan atau menyalin perangkat lunak yang belum kamu bayar.
  • Jangan menggunakan sumber daya komputer orang lain tanpa otorisasi.
  • Jangan mengambil hasil intelektual orang lain untuk diri kamu sendiri.
  • Pikirkanlah mengenai akibat sosial dari program yang kamu tulis.
  • Gunakanlah komputer dengan cara yang menunjukkan tenggang rasa dan rasa penghargaan.
Pentingnya isu-isu etika yang terkait dengan Teknologi Informasi (TI) bersifat sangat kritis dalam masyarakat kita saat ini (Peslak, 2006 dalam Dewi & Gudono, 2007), seiring dengan pesatnya perkembangan TI belakangan ini. Penilaian seseorang terhadap suatu masalah etika berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Dalam arti, relativitas dari standar etika masih menjadi pertentangan. Di satu sisi harus ada standar etika yang bersifat universal, sedangkan di sisi lain tidak ada standar yang benar dan absolut yang dapat diterapkan untuk semua masyarakat, dengan kata lain lain penerapan suatu etika tergantung pada situasi tempat di mana etika tersebut diterapkan, karena ada faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan suatu etika sehingga tidak bersifat universal, misalnya pengaruh budaya tertentu.
Etika tersebut muncul karena adanya intensi keperilakuan. Intensi Keperilakuan didefinisikan sebagai suatu keinginan individu untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku (yaitu keinginan untuk berperilaku etis atau tidak etis) (Ajzen 1991; Ajzen dan Fishbein 1980; Ajzen dan Madden 1986; Bommer at al. 1987; Eining dan Christensen 1991; Ferrel dan Gresham 1985 dalam Dewi & Gudono, 2007). Sedangkan menurut Fishbein and Ajzen (1975) dalam Davis et al. (1989), Intensi Keperilakuan didefinisikan sebagai sebuah ukuran dari kekuatan sebuah keinginan untuk melakukan suatu perilaku yang spesifik. Norma-norma individu dilekatkan dalam konsep-konsep pribadi individu yang didasarkan pada kepercayaan dan sistem nilai yang dianut. Pemahaman norma-norma sosial membutuhkan penyesuaian nilai-nilai yang secara intrinsik menuntun perilaku dan menentukan jika perilaku pengaruhan diterima atau ditolak (Malhotra & Galleta, 2005 dalam Dewi & Gudono, 2007). Masalah Etika Persepsian adalah suatu pandangan bagaimana seorang individu memandang dan menilai suatu situasi apakah termasuk ke dalam masalah etis atau tidak (Goles et al., 2006 dalam Dewi & Gudono, 2007). Norma-norma individu dilekatkan dalam konsep-konsep pribadi individu yang didasarkan pada kepercayaan dan sistem nilai yang dianut. Pemahaman norma-norma sosial membutuhkan penyesuaian nilai-nilai yang secara intrinsik menuntun perilaku dan menentukan jika perilaku pengaruhan diterima atau ditolak (Malhotra & Galleta, 2005 dalam Dewi & Gudono, 2007).
Masalah Etika Persepsian yang dimiliki individu merupakan hasil dari pemahaman norma-norma sosial. Setelah seorang individu melakukan penilaian terhadap karakteristik-karakteristik dari isu moral dan memiliki persepsi terhadap sebuah situasi etis maka akan mempengaruhi perilakunya kemudian (Goles et al., 2006 dalam Dewi & Gudono, 2007) sehingga peneliti mengajukan hubungan positif antara persepsi sebuah masalah etika dan keinginan untuk berperilaku secara etis. Oleh karena itu, situasi etika khususnya yang terkait dengan masalah etika sistem informasi komputerisasian bersifat sangat spesifik sehingga untuk kondisi di Indonesia hasil penelitian ini beragam untuk berbagai situasi etis.

Implikasi dan Solusi Masalah Pembajakan Software
Pembajakan software merupakan hal yang tidak etis dilakukan dan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, berbagai langkah telah banyak dilakukan BSA dalam rangka penegakan hukum di bidang hak cipta. Kegiatan yang dilakukan antara lain sayembara, pelaporan pembajakan software di dalam websitenya, dan adanya upaya untuk menggalakkan pemakaian software open source.  Dengan demikian diharapkan perusahaan mau melegalkan software yang tidak resmi, sehingga semuanya beralih ke produk resmi. Tidak diketahui secara jelas apakah sudah ada kebijakan dari perusahaan swasta soal penggunaan software ilegal di dalam perusahaan, padahal banyak perusahaan swasta yang menjalan operasional untuk tujuan komersial dengan menggunakan software ilegal. Sebelum UU Hak Cipta yang baru diberlakukan, pernah juga dilakukan seperti itu dan ternyata efektif, tapi end user tidak dapat dikenakan tindakan hukum karena pasal untuk menjeratnya waktu itu belum ada. “Dengan Undang Undang Hak Cipta yang baru dapat dilaksanakan karena ada pasal 72 ayat 3,” katanya. Dia mengemukakan bahwa pengusaha swasta hendaknya perlu mengubah pemahaman soal piranti lunak ini. Dulu software dianggap bagian dari hardware. Dengan adanya UU Hak Cipta yang baru, maka pemahaman perusahaan hendaknya perlu diubah.
Kabar baiknya, kini, sudah ada satu instansi pemerintah yang membuat batasan yang jelas soal penggunaan software ilegal tersebut. Instansi pemerintah itu sudah memiliki komitmen menggunakan semua software legal di lingkungannya, sehingga bila ada kedapatan produk ilegal pada personal computer karyawan, maka hal itu akan menjadi tanggungjawab mereka sendiri.
Software itu merupakan aset, sedangkan dulu dianggap cost. Harga software ilegal atau bajakan jauh lebih murah dari produk resmi. Maka, maraknya penggunaan software ilegal juga berdampak negatif terhadap perkembangan industri tersebut di dalam negeri. Orang akan malas berkreasi untuk menciptakan suatu hasil karya karena kurangnya perlindungan hukum terhadap para penciptanya. Industri yang berbasis hak cipta memang memiliki kepentingan terhadap penegakan hukum hak cipta karena pasar mereka digerogoti oleh peredaran produk bajakan, yang jumlahnya cukup besar.
Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi adalah dengan menerapkan diskrimasi harga software terutama untuk negara-negara berkembang yang diikuti dengan penerapan undang-undang secara konsisten termasuk pemberantasan peredaran software bajakan dan edukasi publik untuk lebih meningkatkan apresiasi terhadap hak atas kekayaan intelektual. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan maupun individu tidak segan lagi uintuk membeli software yang dianggap sangat mahal.
Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan adalah menggalakkan penggunaan software open source yang bisa didapatkan dengan gratis. Namun solusi ini bukannya tanpa masalah. Masalah jaminan keamanan dan kemungkinan klaim terhadap masalah vulnerabilitas, entry barriers, dan besarnya switching cost merupakan beberapa alasan yang mengemuka (e.g. Hidayat, 2003 dalam Dewi & Gudono, 2007). Namun demikian, bukannya tidak mungkin pada waktu yang akan datang, jika sudah sampai pada critical mass, penggunaan software open source semakin berkembang.

 KESIMPULAN 
Pembajakan software (software piracy) merupakan tindakan yang melanggar hukum terutama UU HKI dan tidak etis dilakukan karena mengakibatkan kerugian yang besar bagi pengusaha software dan bertindak untuk kepentingan pribadi dan bukan masyarakat meskipun tingkat pembajakan software di Indonesia dari sisi persentase sangat besar, namun jika dilihat dari sisi kerugian yang diakibatkan sangat kecil jika dibandingkan dengan kerugian yang dilakukan oleh para pembajak di negara maju. Harga software legal yang terlalu mahal, terutama untuk negara berkembang, adalah motivasi utama mengapa orang membeli software bajakan.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi pembajakan di antaranya adalah diskrimasi harga software terutama untuk negara-negara berkembang yang diikuti dengan penerapan undang-undang secara konsisten termasuk pemberantasan peredaran software bajakan, edukasi publik untuk lebih meningkatkan apresiasi terhadap hak atas kekayaan intelektual, serta pemasyarakatan penggunaan software open source.

----------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari http://nenygory.wordpress.com/2011/08/02/pembajakan-software-software-piracy-dari-perspektif-etika-bisnis/

Referensi 

Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Dewi & Gudono. 2007. Analisis Pengaruh Intensitas Moral terhadap Intensi Keperilakuan: Peranan Masalah Etika Kepersepsian dalam Pengambilan Kepputusan Etis yang Terkait dengan Sistem Informasi, Simposium Nasional X Unhas Makasar 26-28 Juli 2007.
Kompas.com. 2011. Pembajakan “Software” Bukannya Turun, Malah Naik, Kompas, Selasa 17 Mei 2011.
Unti Ludigdo (2007), Paradoks Etika Akuntan, Bab 2
Ronald F. Duska & B.S. Duska (2005), Accounting Ethics, Ch. 2&3
Wahid, Fathul. 2004. Motivasi Pembajakan Software: Perspektif Mahasiswa. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2004, Yogyakarta, 19 Juni 2004.
 

Penulis : Unknown ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Pembajakan Software ini dipublish oleh Unknown pada hari Minggu, 27 Oktober 2013. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Pembajakan Software
 

0 komentar:

Posting Komentar

diooda